Press ← and → on your keyboard to move between
letters
Dear Future Me,
Sudah hampir dua bulan belakangan ini kamu dekat dengan seseorang. Awal mula dekatnya pun karena kamu berani mengirimkan dia pesan langsung di instagram. Kalian pernah sekelas 2019 lalu, dia satu tahun lebih muda dari mu. Kamu memang mengaguminya sejak lama, namun sebatas kagum sekilas, tidak pernah bercakap empat mata ataupun bertukar sapa dengan lebih dekat, karena melihat seakan ada gap antara senior dan junior saat itu.
Pesan yang kamu kirimkan ternyata berbalas manis. Ia memberi respon positif saat kamu mengatakan ia cowok yang lucu yang pernah kamu temui. Percakapan semakin hari semakin berlanjut, seakan tiada hari tanpa saling berbalas pesan walau sekadar mengirimkan foto aktivitas kalian saat itu. Kamu merasa senang, seperti ada harapan untuk bisa semakin dekat dengannya. Ya, kamu mulai berharap mungkin suatu saat hubungan ini bisa lebih dari sekadar teman. Kamu pun mulai memberi gombalan ringan yang dikemas dengan candaan agar tidak menjadikannya percakapan yang canggung.
Suatu ketika ia berkata bahwa nampaknya ia masih asik sendiri, dan belum berpikir ke arah sana, ke arah serius, atau apapun itu yang berkaitan tentang hubungan yang lebih dalam. Kamu pun mengiyakan hal itu, dan percakapan kalian tetap berlanjut seperti biasanya, tanpa adanya rasa canggung atau apapun itu, responnya masih sama baiknya. Kamu senang dan merasa bisa bertukar kabar dengannya tiap hari sudah lebih dari cukup, seakan kamu telah menemukan rumah untuk pulang dari kesibukan yang melelahkan.
Hari-hari berlalu, akhirnya kalian bertemu, setelah sekian ajakan yang kalian buat dalam obrolan itu. "Ayo nanti ke sini" "Ayo nanti makan ini" "Aku pengin jajan cilok". Ya, kurang lebih seperti itu obrolan yang terjadi setiap kali membahas temu. Dan saat hari pertemuan pun tiba, kamu tidak menduga bahwa hari itu benar benar tiba. Semalam sebelum itu, ia berkata sedang berada di kota yang sama denganmu, namun akan pulang malam itu juga. Kamu cukup sedih, mengingat saat itu kamu sedang berada di luar kota dan baru akan pulang malamnya. Ternyata, paginya ia benar-benar masih di sana, di kota yang sama. Saat dia berkata akan pulang malam itu juga ternyata cuma gurauan. Kamu pun bahagia saat akhirnya bisa benar benar bertemu dengannya. Kalian mulai berjalan kaki menyusuri kampus, hingga tiba di tempat makan yang sebelumnya telah kalian sebutkan dalam pesan singkat itu. Setelah makan, kalian menikmati pagi di halaman perpustakaan kampus sembari bertukar cerita. Mendengarnya bercerita, membuatmu semakin nyaman dengannya. Rasanya seakan ia benar-benar rumah yang nyaman bagimu. Ada ketenangan yang kamu rasakan saat itu. Suaranya yang lembut dan tidak terburu-buru saat bercerita, diiringi hembusan angin pagi tanpa ributnya kendaraan bermotor, menjadikan percakapan itu semakin tenang dan hening. Saat ia bercerita, kamu tidak sekalipun melepas pandangan dari wajahnya. Lelaki yang selama dua bulan ini hanya kamu lihat parasnya dari foto, kini ada di depan mata. Tatapannya cukup tajam dan fokus, namun terlihat teduh dengan bulu matanya yang lentik. Selama bercerita ia selalu tersenyum, memperlihatkan giginya yang rapi dan berjajar manis. Batinmu tidak berhenti mengaguminya saat itu.
Mendengarnya bercerita, kamu mengetahui suatu hal, bahwa ia memang lebih muda setahun darimu, tapi pola pikir, kerja keras dan kemandiriannya sangat jauh lebih matang darimu. Kini kamu tahu mengapa ia terlihat begitu damai dengan kesendiriannya. Batinmu berkata ia cukup sempurna, seakan tak butuh pelengkap untuk mengisi kekosongan yang sudah ia penuhi sendiri. Kamu merasa keberadaan mu bahkan tak bisa memenuhi itu, karena kamu hanyalah wanita yang masih sangat kurang dan rapuh. Ibarat sebuah puzzle, ia merupakan puzzle yang tersusun rapi dan lengkap, tiada celah untuk diisi oleh kepingan puzzle baru karena semuanya telah terisi sesuai bentuknya masing-masing dan menciptakan gambar yang indah. Sementara kamu, hanyalah sebuah puzzle yang terbongkar dan baru akan disusun. Menyusunnya pun seakan membutuhkan waktu lama, mengingat rumitnya bentuk kepingan puzzle itu. Sehingga, puzzle itu masih terlihat kosong dan gambar yang ditampilkan pun masih sangat samar. Melihat perbandingan yang jauh itu, kamu kini mulai sadar diri, termotivasi, dan merasa harus segera bangkit kembali agar bisa setara dengannya, berjalan beriringan dengannya, ingin bisa berdiri sejajar disampingnya.
Pertemuan pun usai, bayang bayangnya kini makin membekas di pikiranmu. "Kabari ya kalau udah nyampe". Pesan yang kamu kirim padanya untuk kembali memulai percakapan setelah kalian berpisah dari pertemuan itu. Responnya masih terlihat baik, namun seakan ada yang kurang. Emoji yang biasa ia ******* kini menghilang, hanya diakhiri dengan kata "wkwk" agar terkesan tidak canggung. Kamu mulai menyadari perubahan ini. Kamu pun mencoba menghilang seharian dari percakapan, setelah seminggu sebelumnya kamu pernah melakukan hal ini, yang mana saat itu ia mencari mu dengan mengirim pesan terlebih dahulu. Kamu bahagia seakan masih ada harapan saat itu. Namun, responnya kali ini berbeda. Ia tidak mencarimu lebih dulu, namun sekadar menegaskan bahwa ia sudah mati rasa dengan kehadiran dan kepergian, dan tidak begitu mengejar hubungan selama belum ada kata serius di dalamnya.
Hatimu hancur sejadi jadinya, menerima respon yang berbeda dari sebelumnya. Ia memang telah beberapa kali mengatakan hal itu, bahwa ia masih asik sendiri, tapi tetap merespon baik pesan pesanmu. Kali ini berbeda, responnya terlihat sangat kaku dan dingin dan kamu bisa merasakan hal itu, bahkan walau ia telah memberi kata penenang. Kini kamu pun segan untuk memulai percakapan lagi, karena ia seolah telah memasang benteng yang kokoh dan tinggi agar tidak bisa kau masuki.
Pikiranmu dipenuhi tanya. "Mengapa baru saat ini benteng itu ada?" "Mengapa tidak dari kemarin kemarin saat perasaanku belum sebesar ini?" "Mengapa harus terjadi setelah kita bertemu?" Beribu pertanyaan berlalu lalang di pikiranmu yang sangat ingin kamu tanyakan padanya. Namun, untuk sekadar mengetikkan kata kata itu pun kamu tak sanggup. Seakan sudah tahu jawaban yang akan ia beri.
Kamu mulai menyalahkan diri sendiri. "Mengapa aku terlalu berharap pada manusia?". Kata kata itu berulang kali kau tanyakan. Padahal, kamu sudah tahu hanya Allah lah yang bisa membolak balikkan hati ummat nya. Kini, hanya tangis yang bisa kamu luapkan. Mungkin ini hanyalah masalah sepele baginya, namun tidak bagimu. Kamu terlalu menaruh perasaan padanya hingga akhirnya kamu jatuh sendiri dalam perasaan itu.
~~~~~~~~~~~~
Dear future me,
Setelah tiga tahun berlalu, dengan kisah indah yang singkat itu, aku harap kamu sudah lebih dewasa dalam bersikap. Aku harap kamu tidak lagi menggantungkan harapanmu pada lelaki yang bahkan kamu tidak tahu isi hatinya yang sebenarnya. Pertemuan mu dengannya saat itu sedikit banyak memberimu motivasi untuk menjadi lebih baik, walau pada saat yang bersamaan, menjadikan perasaanmu cukup hancur.
Saat menuliskan surat ini padamu, aku masih saja berharap kamu bisa bertemu lagi dengannya dalam keadaan pantas dan siap, dan berharap ia sudah membuka hati untukmu. Namun, aku juga merasa sedih memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi setelah tiga tahun ini, bahwa ia mungkin telah menemukan seseorang yang selama ini dia cari, seseorang yang setara dengannya, seseorang yang bisa membuka hatinya kembali. Ah, rasanya sungguh tak pantas untuk mencemburui keberadaan wanita lain dari lelaki yang bahkan bukan milikmu.
Di sisi lain, aku juga yakin, kamu telah menemui banyak orang baru selama tiga tahun ini. Namun aku tak yakin, apakah kamu masih terjebak dalam situasi yang sama, atau apakah kamu sudah bijak dalam memilahnya, atau apakah kamu sudah mati rasa dan kehilangan harapan akan semua itu?
Ohiya, jangan lupa rencana kita di awal, ya! Katamu kamu ingin menjadi rich aunty untuk anak dari saudara saudari mu, haha ^^. Tiga tahun berlalu, aku sangat yakin kamu sudah lebih baik saat ini dari segi materi. Sudah bisa memenuhi harapan orang tua, bahumu sudah cukup kuat untuk menampung segalanya. Namun untuk masalah percintaan, aku serahkan semuanya padamu, ya, dear future me!
In love,
Myself, 22nd yo.
Sign in to FutureMe
or use your email address
Create an account
or use your email address
FutureMe uses cookies, read how
Share this FutureMe letter
Copy the link to your clipboard:
Or share directly via social media:
Why is this inappropriate?